MARIMUTU SINIVASAN
Pengusaha Tekstil Sukses
Marimutu Sinivasan lahir
di Medan, Sumatra Utara,
17 Desember 1937. Di kota itulah pria keturunan Tamil India ini menempuh
pendidikan dasar hingga universitas. Tetapi, ia tidak lama duduk di bangku
kuliah Universitas Islam Sumatra Utara, karena sudah duluan bekerja di sebuah
perusahaan perkebunan. Tidak lama di sana, kemudian ia terjun ke dunia bisnis.
“Saya merasa tidak cocok jadi pegawai,” katanya.
Kakek enam cucu ini
mulai berbisnis tekstil pada 1958. Dua tahun kemudian ia pindah ke Jakarta. Pada 1962 ia
membuka pabrik pembuatan polekat–bahan sarung–yang pertama di Jakarta. Kemudian
pada 1967 ia bisa mendirikan perusahaan batik dan selanjutnya membuka pabrik
penyelupan. Pada 1972, Sinivasan membeli pabrik batik di Batu, Jawa Timur.
Pada 1977 ia membangun
pabrik poliester di Semarang, selanjutnya
pada 1985-1986 ia membangun pabrik polimer lagi. Setahun berikutnya, ia
membangun pabrik garmen di Ungaran– sekarang dikelola adiknya, Marimutu
Manimaren. Kawasan pabrik Texmaco seluas 1.000 hektare di Subang, Jawa Barat,
lengkap dengan sekolah politeknik mesin, diresmikan oleh menteri perindustrian
waktu itu, Ir. Hartarto.
Di Serang pulalah pabrik
alat berat dan mesin Texmaco dipusatkan. Salah satu produknya, truk Perkasa,
dipesan 800 unit oleh TNI. Di Karawang, sebelah timur
Jakarta, Texmaco juga membangun kompleks pabrik tekstil seluas 250-an hektare.
Produk tekstilnya, merek Simfoni dan Texana, dikenal luas, selain untuk
kebutuhan dalam negeri juga banyak dipesan beberapa perusahaan terkenal,
seperti Mark & Spencer dari Inggris atau Tomy Helfinger dari Amerika
Serikat.
Sinivasan memang
termasuk salah seorang pengusaha nasional yang sangat sukses. Penggemar membaca
ini masih menempati rumah kontrakan di Jalan Pasuruan 4 Menteng, Jakarta Pusat.
Rumah bertingkat dua itu ditinggalinya bersama istrinya. Sementara itu,
rumahnya sendiri di Jalan Tulungagung, tak jauh dari rumah kontrakannya, tidak
ditempati. Tidak jelas apa alasannya. Di garasi rumah yang lumayan besar itu,
terparkir tiga Mercedez Benz tipe 300 E dan satu BWM seri
740 iL. Sinivasan lebih suka mengendarai Volvo 960 hitam nomor B1142NO ketimbang
empat mobil lainnya itu.
Ada kebiasaan menarik
dari keseharian Sinivasan: ia harus tidur minimal enam jam sehari. “Kalau
kurang tidur, konsentrasi saya menurun,” katanya. Rupanya, kebiasaan itu sudah
“bawaan” sejak remaja. Bahkan, dulu lebih dahsyat lagi. Lelaki yang kini
memimpin 30-an perusahaan ini biasa tidur sampai delapan jam sehari. Toh, ia
tidak pernah kekurangan waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya. “Kuncinya
adalah memanfaatkan jam kerja sebaik mungkin,” katanya. Pukul 7.30, ia sudah
asyik di ruang kerja dan baru pulang setelah larut malam.
Berbagai predikat
negatif sudah diberikan kepadanya. Sebut saja pengusaha hitam, pengusaha edan,
tukang suap, kriminal, pendiri pabrik rongsokan, dan sebagainya. Tapi, Marimutu
Sinivasan, CEO Texmaco Group tampak tetap tegar. Dia tidak terlalu ambil pusing
atas berbagai penilaian itu. Karena dia merasa apa yang dia buat adalah untuk
kepentingan bangsa dan negara. Sinivasan berobsesi membangun industri
enjiniring demi kemajuan bangsa dan negara. Pengusaha yang tak sempat main golf
dan tenis ini yakin, suatu saat, bisnis enjiniring yang dibangunnya akan
menjadi andalan.
Industri enjinering, khususnya otomotif di
tanah iir adalah killing field. Manakala Indonesia ingin
membangun industri otomotif nasional selalu dibantai. Seperti halnya sedan
Timor yang sempat menurunkan harga mobil, tapi dibantai kiri-kanan. Meski
ladang pembantaian, Sinivasan tak surut. Jika Jepang dan Korsel mampu mandiri
dalam bidang industri barang modal dan otomotif, Indonesia juga bisa. Indonesia
tak perlu inferior. “Bung Karno bilang, kita bukan bangsa tempe, dan saya ingin
mewujudkan kebenaran pandangan itu,” ujar ayah enam anak yang merintis usaha
dari nol sejak 39 tahun silam.Tanpa tedeng aling-aling, pengusaha yang tetap
tampak energik itu menanggapi berbagai penilaian buruk kepadanya.
Utang Texmaco yang
berjumlah Rp 16,5 triliun itu, awalnya sekitar Rp 7 triliun. Karena pinjaman
diperoleh dalam dolar pada kurs Rp 2.400 per dolar AS. Waktu itu, bunga
pinjaman dolar sekitar 11 persen, sedang rupiah sekitar 22 persen.
Ketika terjadi krisis
ekonomi, sebagian pinjaman dolar ditukar pada kurs Rp 10.000 dan Rp 12.000 oleh
bank kreditor. Dengan melemahnya nilai rupiah, maka utang Texmaco membengkak
menjadi Rp 16,5 triliun. Kredit itu berjangka waktu 7-8 tahun. Tapi, konsultan,
yang ditunjuk oleh BPPN, menilai bahwa kredit ini dapat dibayar kembali dalam
waktu 11 tahun. Acuan restruksturisasi adalah cash flow perusahaan. Semua aset
Texmaco sudah diserahkan ke BPPN.
Marimutu merasa heran
kenapa ada yang mengaku pengamat ekonomi terlalu memandang negatif terhadap
Texmaco. Namun dia mengagumi ekonom senior seperti Sumitro Djojohadikusum,
Mohammad Sadli, Frans Seda, dan Emil Salim. Karena komentar mereka
tentang suatu masalah ekonomi bersih dari unsur kepentingan. Kedekatan dengan
Pak Harto dan BJ Habibie.
Bahkan bisa merebut simpati Gus Dur dan Megawati. Marimutu tidak merasa ada
perlakuan khusus dari para pemimpin itu. “Kalau saya diberi hak monopoli,
kemudahan mendapat dana, pembebasan dari proses hukum, dan sebagainya, itu baru
namanya perlakuan khusus,” katanya. Tapi, silakan teliti,mana ada bisnis
tekstil yang monopoli? Begitu memasuki bisnis enjiniring, apakah Texmaco
meminta hak monopoli? “Kami memasuki bisnis dengan kesadaran penuh untuk
menghadapi persaingan dan pasar bebas,” ujarnya. Mengenai kedekatan dengan
Soeharto? Apakah Texmaco mendapat hak monopoli selama 32 tahun seperti sejumlah
perusahaan milik konglomerat tertentu?“Saya mendapatkan kredit
lewat prosedur biasa. Tidak ada unsur KKN dalam proses mendapatkan kredit. Toh,
selain dari Bank domestik, Texmaco mendapat pinjaman sekitar 1,3 miliar dollar
AS dari lembaga keuangan asing. Pinjaman dari lembaga keuangan asing itu tak
bisa diperoleh dengan KKN, tapi berdasarkan pertimbangan bisnis murni,”
tegasnya.
Sebelum krisis, 1997,
Texmaco sudah menjadi nasabah BNI selama lebih dari 30 tahun. Selama kurun
waktu itu, tidak pernah terjadi default pembayaran bunga maupun
angsuran. Bahkan Texmaco membayar kembali 500 juta dollar AS kreditnya kepada
BNI dan BRI. Setelah pengembalian uang tersebut, Texmaco memasuki bidang
enjiniring dengan mengajukan 1 miliar dolar AS kredit untuk enjiniring dari
BNI, BRI dan beberapa bank lainnya dalam suatu konsorsium. Permohonan itu
disetujui karena track-record Texmaco dinilai patut dan layak menerima kredit
tersebut.
Texmaco hanya
mendapatkan penjadwalan ulang. Itu wajar, karena sesuai dengan skala usaha
Texmaco dan hasil due diligence pihak ketiga . Lagi pula, sebelum
krisis, Texmaco mendapat grace period sekitar dua tahun dan pembayaran kembali
5-6 tahun.
Selain itu, pemerintah kini menguasai 70 persen Texmaco (Newco). Pihak BPPN
sudah menjelaskan, porsi kepemilikan 70 – 30 persen di Newco di maksudkan untuk
memberikan voting rights kepada pemerintah dalam mengamankan aset-aset Texmaco.
Dengan menguasai mayoritas, maka tak ada penjualan aset Texmaco yang diluar
persetujuan BPPN.
Pola restrukturisasi utang Texmaco lebih tepat disebut rescheduling
atau penjadwalan ulang. Bukan debt to equity swap. Dan itu sangat
wajar, mengingat krisis ekonomi yang begitu dalam – yang antara lain disebabkan
oleh kebijakan pemerintah – melipatgandakan jumlah utang. Dengan penjadwalan ulang, utang tetap
utang, dan untuk melunasi utang itu diterbitkan exchangeable bonds.
Kwik Kian Gie saat
menjabat Menko Ekuin pernah menudingnya dengan kata pengusaha hitam. Marimutu
menanggapinya dingin. Menurutnya, kata pengusaha hitam itu lebih berkonotasi
rasial. “Apa karena kulit saya ini hitam, maka dibilang pengusaha hitam? Mereka
kerap menyebut saya pengusaha keturunan India. Padahal, saya sudah generasi
ketiga di Indonesia dan sungguh-sungguh merasa sebagai orang Indonesia. tak
mode lagi kita bicara soal SARA. Pengusaha hitam dalam arti moral, saya tak
mengerti. Karena kita tak bisa dengan mudah menilai moral seorang, apalagi
hanya berdasarkan isu,” katanya.
Texmaco dinilai piawai
dalam melobi sehingga selalu survive dalam setiap rezim, mulai dari
rezim Soeharto, Habibie, Gus Dur hingga Megawati.
“Kalau kami jago melobi,
maka takkan ada pers yang ngerjain Texmaco. Saya akan melobi konglomerat pers,
Jakob Oetama, dan para pimpinan media massa terkemuka di negeri ini,” kata
Sinivasan. Dia pun mengingatkan kata-kata Goobels, menteri penerangan dan
propaganda masa Hitler. Goobels bilang, kebohongan yang digulirkan terus
menerus, suatu saat, akan dirasakan sebagai kebenaran. Begitu juga berita
bohong tentang Texmaco.
Pabrik enjiniring
Texmaco dibilang barang rongsokan. Stir dan rem truk Perkasa diisukan
berkualitas jelek. Mereka tak paham atau pura-pura tak paham bahwa truk Perkasa
menggunakan rem angin atau air brakes dan stirnya sudah
menggunakan power steering, dan semua mengunakan lisensi dari
jerman dan Inggris. Truk Perkasa sudah masuk kategori Euro I dilihat dari emisi
gasnya, dan pada tahun depan menjadi Euro II. Banyak truk dan kendaraan di
Indonesia saat ini masih belum masuk Euro I dalam hal polusinya.
“Mereka menyebut saya
tukang suap. Ada juga berita yang menyebutkan, Rizal Ramli itu konsultan
Texmaco dan Taufik Kiemas pernah menjadi komisaris Texmaco. Sejumlah media
terus-menerus menghembus isu pengusaha hitam. Malah sebuah majalah berita
mingguan dalam opininya menyatakan, Sinivasan adalah kriminal. Perlu ada
poster ‘wanted’ lengkap dengan foto yang disebarkan ke seluruh pelosok negeri.
Opini media itu
menyatakan saya tak kooperatif. Padahal, tak pernah satu kalipun saya menolak
panggilan Kejakgung. Dan saya juga tak meminta pengampunan utang. Utang bukan
dosa, dan kami bersedia membayar semua utang itu. Itu semua adalah trial
by the press yang dilakukan dengan sistematis oleh pers yang berkolaborasi
dengan kelompok kepentingan tertentu yang menghendaki Texmaco hancur.
Sejak muda, saya sangat
terkesan dengan pemikiran para founding father kita. Bung Karno
berupaya membangkitkan harga diri bangsa dengan menancapkan pandangan bahwa ”
kita bukan bangsa tempe “. Bung Hatta menekankan pentingnya upaya
meningkatkan kemampuan ekonomi rakyat, antara lain, lewat koperasi. Sedang Bung
Sjahrir mengemukakan pentingnya industrialisasi, modernisasi, dan mekanisasi
mulai dari desa-desa.
Saat ini, ada sekitar
3.000 sarjana yang bekerja di Texmaco. Para sarjana itu mampu mendesain,
membuat mesin-mesin yang digerakkan oleh komputer yang seluruh produk
elektroniknya dirancang dan dibangun di Indonesia. Mereka bisa membuat 80
persen mesin industri otomotif, traktor, diesel, transmisi, industri tekstil,
alat-alat industri baja dan sebagainya. Semua itu dikerjakan putra Indonesia.
Mungkin hanya sekitar 20 persen komponen yang masih diimpor.
Mereka mampu membuat
mesin tekstil, mesin perkakas berstandar dunia, dan rancang bangun. Kini mereka
juga mulai membuat aneka mesin, komponen otomotif, motor, traktor, truk, hingga
mobil penumpang. Inilah intangible assets atau aset maya yang
tak ternilai harganya.